Senjadi Pelabuhan Kecil - Puisi Karya Chairil Anwar Oleh Administrator Diposting pada 19 Februari 2019 24 Februari 2017 — Tim indoSastra Pencari Karya Sastra Lama. Sastra Angkatan 45, bentuk: Puisi. Karya: Chairil Anwar. Ini adalah salah satu puisi dari seorang maestro yaitu Chairil Anwar, dengan kata yang lugas, kaya makna, dan indah Senjadi Pelabuhan Kecil (Chairil Anwar) Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita Perasaan yang dialami oleh penyair pada puisi di atas adalah A. gembira B. menyesal C. sedih Sebutkan langkah-langkah yang harus diperhatikan untuk memahami makna puisi. Jawaban: a. Menemukan kata kunci dalam Tema puisi Senja di Pulau Kecil bertemakan cinta. Dalam puisi ini penyair sedang merasakan patah hati kepada sang pujaan hati karena ia tak mampu mengungkapkan rasa cintanya kepada sang pujaan hati hingga sang pujaan pergi bersama orang lain. SenjaDi Pelabuhan Kecil. Kepada Sri Ayati . Ini kali tidak ada yang mencari cinta karena setiap satu bait telah membuahkan satu makna namun tetap berkesinambungan dengan bait-bait lainnya. Tema puisi Senja di Pulau Kecil bertemakan cinta. Dalam puisi ini penyair sedang merasakan patah hati kepada sang pujaan hati karena ia tak mampu Sahabat puisi senja di pelabuhan kecil memang menjadi salah satu puisi terbaik karya chairil anwar. Senja di pelabuhan kecil buat sri ajati oleh chairil anwar ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang rumah tua pada cerita tiang serta temali. Kapal perahu tiada berlaut. Buat sri aryati. Karya monumental seorang chairil anwar senja tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut. menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut. Pada bait kedua dalam Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” penyair memfokuskan perhatian pada suasana pelabuhan dan penyair tidak lagi menghiraukan benda-benda di pelabuhan yang beraneka ragam. Berikut detail informasi tentang Puisi Tentang Kesetaraan Laki Laki Dan Perempuan. Menciptakan relasi pergaulan yang sehat saling menghargai dan menghormati antara laki laki dan perempuan 4. Kesederajatan laki laki dan perempuan berdasarakan ajaran gereja dan pandangan kitab suci katekismus gereja katolik artikel 369 pria dan wanita diciptakan 1 Anorganis. Pada puisi "Senja di pelabuhan Kecil" pengarang sudah mencapai tingkat pertama yaitu anorganis, karena apa yang dirasakan pengarang sudah menuangkan kedalam rangkaian kata dan memberikan imajinasi atau daya bayang pada pembaca. Tingkat anorganis dapat dibuktikan dalam baris "desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal Puisi ‘Senja di Pelabuhan Kecil’ menghadirkan suasana yang melankolis, di mana senja menjadi kiasan bagi akhir sebuah periode atau perjalanan. Makna ini mengajak kita merenung tentang perubahan dan kenangan yang terkait dengan akhir hari atau fase dalam kehidupan. 2. Makna puisi “Senja di Pelabuhan Kecil: buat Sri Ajati” karya Chairil dari aspek judul dan isinya melukiskan usaha si aku lirik untuk mendapatkan cinta dari Sri Ajati, tetapi tidak ditanggapi oleh Sri Ajati. 3. Keterkaitan makna antara cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku” karya Seno Pendekatan Mimetik Dalam Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” Karya Chairil Anwar. Simbol dan makna pada puisi menolak korupsi karya penyair Indonesia Abstrak. 5(2), 163-171. Senja Di Pelabuhan Kecil Karya: Chairil Anwar Senja Di Pelabuhan Kecil Karya: Chairil Anwar Ini kali tidak ada yang mencari cinta LAGU SIUL OLEH CHAIRIL ANWAR Lagu Siul Karya: Chairil Anwar Lagu Siul Karya: Chairil Anwar Laron pada mati Terbakar di sumbu lampu Aku juga menemu Ajal di Mengharappada Senja di Pelabuhan Kecil penuh Doa.. Berharap tak Sia-Sia. Perihal Hidup, Mati dan Bungkam. hasil buah pikir Chairil Anwar membuat banyak orang tekesima untuk menulis dan menyampaikan pesan-pesan singkat penuh makna. Teroka dan Sayembara Mengarang Puisi Memperingati 100 Tahun Chairil Anwar Dibaca : 1. metonimia terdapat dalam puisi “Kabar dari Laut” dan “Tuti Artic”, sinekdoki terdapat dalam puisi “Kabar dari Laut”, dan “Senja di Pelabuhan Kecil”, dan Allegori tidak terdapat dalam kumpulan puisi DCD. 2) Makna bahasa figuratif terdiri dari ikon, indeks, dan simbol. 3) Rencana implementasi penelitian ini Puisi terbagi menjadi dua, yaitu puisi lama dan puisi modern. Puisi lama masih terikat dengan jumlah baris, bait, ataupun rima ( sajak ). Puisi lama adalah pantun dan syair. Puisi modern tidak terikat pada bait, jumlah baris, atau sajak dalam penulisannya. Itulah informasi tentang teks puisi bahasa arab tentang santri yang dapat admin kumpulkan. A5pt6C9. SENJA DI PELABUHAN KECIL – Chairil Anwar Buat Sri Ajati Ini kali tidak ada yang mencari cinta diantara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap 1946 A. Struktur Batin Puisi Bait 1 pengarang menceritakan cinta yang sudah tidak dapat diperoleh lagi. Pengarang melukiskan gedung, rumah tua, tiang dan temali, kapal, dan perahu yang tidak bertaut. Benda-benda itu semua mengungkapkan perasaan sedih dan sepi. Pengarang merasakan kehampaan hati karena cintanya yang hilang. Kenangan cinta sangat memukul hatinya sehingga hatinya mati setelah orang yang dicintainya pergi seperti kapal yang tidak berlaut hidupnya tiada berarti. Bait 2 pengarang memfokuskan perhatian pada suasana pelabuhan dan tidak lagi ke benda-benda di pelabuhan yang beraneka ragam. Di pelabuhan itu turun gerimis yang mempercepat kelam menambah kesedihan pengarang dan ada kelepak elang’ yang menyinggung muram membuat hati pengarang lebih muram.desir hari lari berenang’ kegemingan telah musnah. Suasana di pantai itu suatu saat membuat hati pengarang dipenuhi harapan untuk terhibur, tapi ternyata suasana pantai itu kemudian berubah. Harapan untuk mendapatkan hiburan itu musnah, sebab “dan kini tanah air tidur hilang ombak”. Bait 3 pikiran pengarang lebih dipusatkan pada dirinya dan bukan kepada pantai dan benda-benda sekeliling pantai itu. Dia merasa aku sendiri’. Tidak ada lagi yang diharapkan akan memberikan hiburan dalam kesendirian dan kedukaannya itu. Dalam kesendirian itu, pengarang mengisir semenanjung semula ia berjalan dengan dipenuhi harapan. Setelah pengarang mencapai ujung tujuan, ternyata orang yang diharapkan akan menghiburnya itu malah mengucapkan selamat jalan. Pengarang merasa bahwa sama sekali tidak ada harapan untuk mencapai tujuannya. Sebab itu dalam kesendirian dan kedukaannya, pengarang merasakan “dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap”. Betapa mendalam rasa sedihnya itu, ternyata dari pantai keempat sedu-sedan tangisnya dapat dirasakan. 1. Tema kedukaan yang mendalam karena kegagalan cinta. 2. Nada pengarang menceritakan kegagalan cintanya dengan nada ratapan yang sangat mendalam, karena lukanya benar-benar sangat dalam. 3. Perasaan pengarang merasakan kesedihan, kedukaan, kesepian, dan kesendirian itu disebabkan oleh kegagalan cintanya dengan Sri Ayati. Bahkan sedu tangisnya menggumandang sampai ke pantai ke empat karena kegagalan cintanya. 4. Amanat pengarang ingin mengungkapkan kegagalan cintanya yang menyebabkan hatinya sedih dan tercekam. Kegagalan cintanya yang menyebabkan seseorang seolah-olah kehilangan segala-galanya. Cinta yang sungguh-sungguh dapat menyebabkan seseorang memahami apa arti kegagalan secara total. B. Struktur Fisik Puisi 1. Diksi pilihan kata Pilihan kata banyak menggunakan kata-kata bernada muram, dipantulkan oleh kata-kata gudang, rumah tua, temali, kelam, laut, tidur, hilang ombak, ujung desir, dll. 2. Majas bahasa kiasan Gaya bahasa yang terdapat pada puisi diatas adalah a. Metafora Pengarang menggunakan bahasa kias untuk memperdalam rasa duka yang dirasakan. Ketidak berdayaan diungkapkan pengarang sebagai sebuah gudang, rumah tua, tiang dan temali’ yang tiada berguna. Harapan pengarang kandas bagai kapal dan perahu yang tidak melaut karena menghempaskan diri di pantai saja. Serta kebekuan hati bagai air dan tanah yang tidur dan tidak bergerak. b. Personifikasi Diungkapkan pengarang melalui “rumah tua pada cerita, ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lagi berenang, dan kini tanah dan air tidur hilang ombak dan sedu penghabisan bisa terdekap”. Lewat kata tersebut pengarang mecoba menghidupkan rumah tua yang seakan mampu bercerita, dan menghidupkan juga kelepak elang yang mampu menyinggung perasaan orang yang sedang muram. Hari pun dikatakan pengarang seakan berlari dan berenang menjauh hingga pengarang bisa memutar balik waktu itu. Pengarang juga berusaha menidurkan tanah air sehingga merasa dalamlah kebekuan hati seseorang yang digambarkan. c. Sinekdot Terlihat pada kata tiang’ yang sebenarnya pengarang mencoba menggambarkan rumah. Kata kapal dan perahu yang berarti pelabuhan. d. Hiperbola Terdapat pada kalimat “dan kini tanah dan air tidur hilang” serta“dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap”. melebih-lebihkan kebekuan hati karena sang gadis itu. 3. Pencitraan “Diantara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut” Pengarang membuat pembaca seolah-olah dapat melihat gudang, rumah tua pada cerita, tiang serta temali, kapal, dan perahu yang tidak berlaut. 4. Tipografi “Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang”. Pengarang menggunakan tipografi puisi konvensional dengan dilengkapi enjambement berupa titik ditengah baris yang menunjukkan bahwa gagasan pada suatu baris dalam puisi masih berlanjut pada baris berikutnya. 5. Verifikasi rima, ritma, metrum Rima akhir setiap bait /ta-ta-ut-ut/ abab. Ritma berupa ikatan yang mengikat bait dengan menggunakan keterangan kalimat. Pada bait pertama menggunakan frasa/ini kali/ pada bait kedua menggunakan /gerimis/ pada bait ketiga menggunakan /tiada lagi/. Kata pengikat tersebut memunculkan gelombang irama baru. sumber Foto Penulis Senja Di Pelabuhan Kecil Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap Puisi merupakan salah satu bentuk apresiasi yang kita miliki, dengan adanya puisi kita bisa menyampaikan apa yang ada dipikiran kita. Puisi juga bisa digunakan sebagai wadah untuk kita selalu berkreasi dalam tulisan yang dibuat. Lebih tepatnya puisi sebagai karya sastra yang terikat dengan rima, irama, penyusun bait, serta baris bahasanya terlihat indah dan penuh makna. Bahasa yang terlihat indah dan bermakna digunakan untuk mengambarkan suatu suasanya yang diciptakan oleh pengarang. Pengarang bisa mengambarkan perasaan sedih gembira, putus asa, jatuh cinta, dan kesal dari penyusunan bahasa yang digunakan. Puisi sedih dan gembira yang dituliskan oleh seorang pengarang bisa saja berasal dari curhatan hati atau perasaan pribadi, seperti puisi senja di pelabuhan kecil karya Chairil Anwar. Puisi Senja di Pelabuhan Kecil mengambarkan mengenai kisah sedih seorang pria namun, masih memiliki sikap yang tegas. Kesedihan yang dialaminya adalah perasaan yang pesimis dikarenakan cinta yang kandas. Hancurnya sebuah hubungan yang telah dijalani oelh seseorang menjadi pemicu dari keterpurukan yang ada di dalam diri kita. Cinta terkadang menjadi hal yang penting bagi sebagian orang. Saat cinta yang ia memiliki telah pergi meninggalkannya maka itu akan mempengaruhi diri sendiri dan kehidupan sehari-hari yang dijalani. Cinta bisa menjadi sebuah sumber kebahagiaan bagi seseorang dan diri sendiri. Kebagiaan seseorang yang sedang jatuh cinta tidak bisa diukur dengan apa pun, dengan cinta ia bisa mengubah hari-hari yang kelam menjadi berwarna, namun saat cinta hilang hari yang berwarna pun menjadi suran tanpa ada senyuman. Puisi Chairul Anwar bisa menarik pembacanya larut dalam kesedihan yang ia tuangkan dalam puisi. Puisi ini ditunjukkan untuk Sri Anjati, dimana dia adalah kekasih pujaan yang sangat dicintai oleh Chairil Anwar namun tidak bisa bersama lagi. Kesedihan dan kekosongan hati yang dirasakan Chairil Anwar dituangkan dalam semua puisi yang berjudul senja di pelabuhan kecil. Tidak ada lagi yang mencari cinta dimaksudkan bahwa ia sedang putus asa karena ditinggalkan Sri Ajati. Ia merasakan kehilangan yang sangat mendalam akibat ditinggalkan oleh orang yang sangat berharga bagi hidupnya. Penulis merasakan bahwa ia telah menyia-yiakan cinta yang datang dan mengabaikannya, sehingga membuat Sri Anjati pergi. Pengambaran gudang dan rumah tua yang dituliskan dalam lirik puisi mengambarkan hatinya yang sedang kosong. Kekosongan di dalam hati yang di rasakannya membuat ia merasa sendiri dan terpukul. Semua yang ia rasakan kosong tidak berwarna akibat ditinggalkan oleh Sri Anjati, itulah pengambaran dari diri Chairil Anwar. Pengambaran bati yang kosong juga dapat dilihat dari lirik puisi Perahu tidask berlaut. Maksud dari perahu tidak berlaut adalah tidak ada lagi orang yang bisa merebut hatinya kecuali Sri Anjati, dimana semua orang yang telah mendekatinya tidak bisa merebut perasaan yang ia punyai. Lirik puisi yang selanjutnya adalah menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut dimana ia pasrah akan keadaan yang dimiliki sekarang ini. Pengambaran suasana saat pengarang sedih adalah gerimis mempercepat kelas dimana seolah kesedihan yang ia rasakan cepat berlalu tengelam oleh hari-hari yang ia lewati. Hari berganti seperti biasanya namun, kesedihan yang ia rasakan terus berlanjut seiring berjalannya waktu. Kesedihan itu tidak memudar sedikit pun meski hari telah berganti. Melewati hari-hari yang buruk dengan kesedihan yang ia rasakan. Meskipun ia mencoba lari dari kesedihan yan dirasakan semua itu terasa sia-sia. Kesedihan masih mengikuti dirinya hingga waktu yang lama. Puisi Senja di pelabuhan kecil memiliki makna konotatif atau makna yang tidak sebenarnya. Ia mengambarkan apa yang dirasakan dengan menemu bujuk pangkal akanan tidak bergerak dimana maksud dari lirk tersebut adalah sedih yang dirasakannya masih sama tidak berubah sedikit pun dari dirinya. Serta tiba-tiba ia ingin menghilangkan kesedihan yang dirasakannya karena sudah lelah merasakan kesedihan akibat ditinggal oleh seseorang yang dicintainnya. Merasakan kesendirian, bagai seseorang yang tidak punya siapa-siapa, itulah perasaan yang dirasakan oleh pengarang. Parasaan tersebut digambarkan dengan lirik tiada lagi, aku sendiri, berjalan. Meski hanya ditinggal oleh satu orang yang berharga baginya ia merasa bahwa tidak ada lagi yang menemani hari-hari yang dilewatinya, seolah tidak ada seseorang yang dijadikan sandaran lagi. Menyisir semenajung adalah pengambaran makna denotasi atau makna yang sebenarnya. Ia memiliki harapan yang besar kepada Sri Anjati untuk kembali lagi ke dalam pelukannya agar bisa bersama-sama menghabiskan hari yang indah berdua. Besarnya harapan yang ia miliki membuat pengarang makin tersikasa dengan harapan yang dimilikinya. Sekali tiba diujung dan sekalian selamat jalan adalah pengambaran bahwa jika segala sesuatu yang kita mulai telah selesai maka itulah akhir dari perjalanan yang dimulai. Segala sesuatu yang ada pasti memiliki akhir yang bagus atau pun buruk, semua sudah ditentukan dari perbuatan yang telah kita lakukan. Pengambaran ini adalah sudah mencapai batas dari perjuanagan cinta yang dilaluinya. Diakhir itulah kesedihan yang dirasakan harus berhenti dan memikirkan hal yang baru lagi. Sedu penghabisan bisa berdekap adalah pengambaran bahwa perasaan yang dimilikinya telah usai dan tidak ada lagi kesedigan yang dirasakan setelah semua berahir. Saat luka yang diamali seseorang menjadi semakin dalam mereka hanya bisa meratapi keadaan yang ada .Perasaan yang dialaminya hanyalah kesedihan. Kesedihan atas kesendirian, kesepian, kedukaan, yang ditinggalkan oleh Sri Ayati kekasih pujaan yang selama ini diratapinya. Meskipun telah kehilangan cinta yang begitu besar kita harus selalu ikhlas dengan jalan hidup yang sudah dipilih. Jaganlah merasakan kesedihan yang begitu berlarut-larut karena semua pasti akan kembali, dan kita akan mendapatkan apa yang pantas kita dapatkan. Penulis Ucik Susilowati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang Di pusat kota kecil tempat Lin Munru tinggal terdapat suatu simpang bercabang lima. Cabang yang menuju timur terbelah dua. Satu yang lebih besar mengarah ke kantor polisi, sedang cabang yang lebih kecil mengarah ke sebuah krematorium tua. - KEDUA jalan itu dipisahkan oleh deretan pertokoan yang menjual barang-barang apkir, misalnya mesin tik, poster, setrika arang, sepatu kuda, atau saputangan. Jika orang-orang luar datang berkunjung ke wilayah itu mungkin mereka akan terheran-heran sebab bukan saja toko-toko itu sepi pembeli, melainkan juga karena jika ada orang yang masuk ke toko-toko itu malah pemiliknya yang terheran-heran. Pernah ada cerita yang beredar di wilayah itu tentang seorang noni yang hendak membeli saputangan. Noni ini memang masuk ke toko yang menjual saputangan, tapi pemilik toko bilang bahwa dia tidak menjual saputangan. Si noni merasa tersinggung, lalu mengumpat-umpat. Si pemilik toko kemudian menunjukkan bahwa yang dijualnya memang bukan saputangan, melainkan cumi-cumi mainan yang terbuat dari karet dan dipajang dengan cara direntangkan. Cerita itu pada mulanya tidak masuk akal dan kurang diterima, tapi setelah seorang penyair menulis puisi tentang cumi-cumi yang dibayangkannya seperti saputangan, banyak orang jadi percaya. Puisi itu sendiri dibeli oleh seorang pemilik toko perlengkapan memancing, kemudian dicetak dan dipajang di dinding tokonya. Situasi pertokoan yang sepi berbanding terbalik dengan jalan di depannya. Di antara lima cabang jalan, jalan ini yang paling ramai, setidaknya sama ramainya dengan jalan yang mengarah ke barat, ke arah pasar terbesar di kota kecil itu. Waktu masih kecil Lin Munru suka berjalan-jalan di depan pertokoan. Dia senang mengamat-amati para pemilik toko yang duduk-duduk sepanjang hari di depan tokonya. Kadang-kadang dia punya keinginan menyeberang dan tiap kali menyeberang dia pasti nyaris tertabrak kendaraan. Para pengendara yang pernah nyaris menabrak Lin Munro pasti sempat mengumpat-umpat, namun bila dicermati dengan teliti siapa saja yang pernah nyaris menabrak Lin Munro pasti menjadi orang sukses di kemudian hari. Selain suka berjalan-jalan dan mengamati para pemilik toko, Lin Munru senang menari-nari meniru gerak seorang balerina di depan pertokoan. Suatu ketika Lin Munru yang sedang asyik menari-nari menabrak seorang bocah yang membawa sangkar burung kecil. Waktu itu usianya sekitar sembilan tahun. Keduanya terjungkir akibat peristiwa tabrakan itu. Kalau sekadar tabrakan dan jatuh barangkali cerita akan sampai di situ saja. Kenyataannya, sangkar burung si bocah ikut jatuh dan burung di dalamnya langsung terbang. Si bocah termangu-mangu sebentar melihat burungnya melayang-layang bebas. Beberapa kejap kemudian, bagaikan hujan yang turun tiba-tiba, bocah itu menangis sambil meraung-raung. Lin Munru yang melihat burung itu melayang-layang di atap bangunan toko penjual perlengkapan memancing menepuk-nepuk bahu si bocah, ”Ssst, jangan nangis, nanti burungnya terbang,” katanya. Si bocah menghentikan tangisnya, menatap Lin Munru dengan pandangan yang lebih mengutuk ketimbang ibu Malin Kundang, lalu berdiri dan langsung berlari sambil berteriak-teriak menyambung tangisnya, ”Burung Kiki terbang! Burung Kiki terbang!” serunya berulang-ulang. Lin Munru seketika ikut bangkit dan berlari mengejar si bocah. Di sekitar pertokoan ada jalan ke arah kiri yang tembus ke cabang jalan menuju krematorium tua. Si bocah berbelok ke jalan kecil itu dan Lin Munru terus mengejarnya. ”Woii...” seru Lin Munru. Si bocah tidak peduli, dia terus berlari. Di ujung jalan kecil dia berbelok ke kiri, ke arah pusat simpang lima. Lin Munru agak kecewa karena mestinya si bocah berbelok ke kanan, ke arah krematorium tua. Sebetulnya tadi Lin Munru berencana ke krematorium sebab hari itu ada upacara kremasi di mana biasanya ada penyair yang membacakan satu puisinya. Lin Munru suka melihat penyair membaca puisi. Mereka tampak seperti binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya, seperti sesuatu yang kelak retak sehingga dukanya abadi. Kadang-kadang Lin Munru juga melihat mereka seperti melihat api bekerja membakar selembar celana. Itu sungguh menyenangkan. Namun sayang, si bocah telah berbelok ke kiri dan urusan Lin Munru dengan bocah itu belum selesai. Sampai di ujung jalan si bocah yang masih meraung-raung melintasi jalan, lalu dengan cepat menuju cabang jalan yang mengarah ke barat. Di depan gedung bioskop yang sudah tak dipakai, dia berhenti sebentar melihat beberapa anak sedang main judi. Lin Munro ikut menyeberang dan kali itu tak ada kendaraan yang nyaris menabraknya. Karena terlena melihat anak-anak main judi, si bocah nyaris terkejar Lin Munru. Namun, dia segera sadar dan kembali meraung-raung sambil berlari ke cabang jalan yang menuju barat. Di ujung jalan itu terhampar sebuah pantai. Lin Munru berhenti sebentar di tempat si bocah tadi berhenti, bukan karena dia juga terlena oleh anak-anak yang main judi, melainkan karena dia melihat burung si bocah yang tadi lepas kini hinggap kembali di atap bangunan pertokoan di pojok jalan menuju selatan, yakni jalan yang mengarah ke jembatan di mana mengalir sungai di bawahnya. Lin Munru merasa burung itu seperti mengikutinya, atau mungkin mengikuti tuannya. Lin Munru tiba-tiba merasa malas melanjutkan pengejarannya. Kalau saja dia tidak benar-benar penasaran pada satu hal dan jawaban dari rasa penasaran itu hanya mungkin didapat dari si bocah, mungkin dia sudah berbalik arah menuju krematorium tua. Ketimbang rasa penasarannya tak terjawab, Lin Munru memilih membuang rasa malasnya dan kembali mengejar si bocah. Kali ini dia tak lagi berlari, melainkan berjalan pelan-pelan sambil sesekali memperhatikan burung si bocah. Saat itu hampir senja. Langit seperti kain yang luntur warnanya dan bentuk-bentuk awan menyerupai kapas yang terburai dari bungkusnya. Jalan ke arah barat yang menuju pantai itu adalah cabang jalan yang paling sepi di antara keempat cabang lainnya. Sepanjang jalan itu berdiri rumah-rumah dan gudang-gudang tua sisa peninggalan dari masa ketika pelabuhan kecil di pantai masih beroperasi dan para pedagang berdatangan dari berbagai penjuru. Lin Munru tahu si bocah pasti menuju pantai sebab pantai adalah tempat yang paling suci untuk menangis. Dia sendiri kadang-kadang pergi ke pantai, bukan untuk menangis, melainkan untuk melihat orang-orang menangis. Pada waktu-waktu tertentu Lin Munru senang melihat orang menangis. Sebab setiap melihat orang menangis, dia selalu membayangkan orang itu adalah penyair. Tadi ketika melihat si bocah menangis, sebetulnya Lin Munru sempat membayangkannya sebagai seorang penyair, tapi bayangan itu buyar karena si bocah keburu lari. Sesampai di pantai senja berangsur tua. Sebuah senja di pelabuhan kecil. Lin Munru melihat si bocah duduk di pasir menghadap ke laut. Bocah itu kelihatan seperti baru saja dikutuk ibunya hingga jadi batu. Orang-orang yang lalu-lalang tak memperhatikan. Dia masih terisak-isak ketika Lin Munru duduk di sampingnya. Mereka tidak berbicara. Pandangan mereka sama-sama terarah ke laut. Di mata Lin Munru ombak-ombak bergerak seperti sekumpulan balerina, di mata si bocah sampan-sampan di kejauhan seperti burung-burung yang lepas melayang. Setelah beberapa lama Lin Munru kemudian menjulurkan tangannya, ”Nama saya Sri. Namamu siapa?” Si bocah menyambut juluran tangannya, tapi tidak menjawab pertanyaannya. Lin Munru kembali berkata, ”Tadi saya kejar kamu soalnya saya penasaran.” Si bocah menoleh, ”Penasaran?” ”Iya, boleh saya bertanya?” Si bocah mengangguk. ”Tadi saya dengar kamu berteriak-teriak sambil menyebut satu nama; Kiki. Kalau boleh tahu itu namamu atau nama burungmu?” Si bocah terkikik mendengar pertanyaan itu. Roman mukanya jadi kelihatan ganjil. ”Nama saya Chairil. Chairil Anwar,” jawabnya. ”Nama lengkapmu siapa?” Lin Munru ikut terkikik, ”Ayati,” jawabnya. ”Sri Ayati.” Mereka berdua lalu terkikik bersama-sama seakan-akan mereka adalah kawan yang sekian lama tak berjumpa. Rasa penasaran Lin Munru juga menguap seketika. Dengan riang keduanya berlarian di pantai, melompat-lompat, berkejaran, dan sesekali menghambur ke bibir laut. Mereka menjerit-jerit ketika air berusaha menyeret mereka. ”Chairil!” seru Lin Munru, ”Saya bohong,” lanjutnya. ”Nama saya bukan Sri.” Baca Juga Lokasi Dugaan Bom Bunuh Diri Makassar Dekat dengan 3 Titik Penting Chairil Anwar kembali terkikik mendengar pengakuan itu, ”Saya tahu!” teriaknya. Setelah itu dia menunjuk-nunjuk ke angkasa, ”Burung Kiki terbang!” serunya, lantas berlari menjauh dari pantai. Lin Munru tak lagi memedulikan bocah itu. Dia menari-nari sendirian meniru gerak seorang balerina. Dia terus menari-nari sampai kemudian nyaris tertabrak seorang laki-laki yang jalan bergegas seakan-akan baru saja mendapat ilham setelah beberapa lama menatap laut. Laki-laki itu sempat mengumpat sembari terus bergegas. Kelak laki-laki itu akan menulis sebuah puisi tentang cumi-cumi yang dibayangkannya seperti saputangan dan puisi itu dengan segera membuatnya jadi penyair ternama. * Kekalik, 11 Maret 2021 - KIKI SULISTYO Lahir di Kota Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? Basabasi, 2017, dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti Diva Press, 2018. Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani Diva Press, 2020. Saksikan video menarik berikut ini Jakarta - Pada 26 Juli 1928, penyair legendaris Chairil Anwar lahir. Ia aktif dalam menyebarkan karya puisinya di masa pembentukan Indonesia merdeka sejak tahun 1942 sampai 1949. Dan tahun ini, seabad atau 100 tahun Chairil Anwar diperingati di dunia sastra, puisi-puisinya terbilang popular dan masih sering dibacakan oleh banyak kalangan. Disebutkan dalam laman Chairil Anwar telah menyumbang karya tulisan sebanyak 75 puisi, tujuh prosa, dan tiga koleksi puisi. Beliau juga menerjemahkan 10 puisi dan empat prosa. Sedangkan dalam laman menyebutkan hampir semua puisi yang ia tulis merujuk pada puisi-puisinya, Chairil Anwar mampu memberikan semangat baru pada perubahan sajak sastra di budaya Indonesia. Keunikan dan pengetahuannya membuat puisi-puisinya semakin tajam ketika didengar. Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa puisi terkenal yang pernah diciptakan oleh Chairil AnwarPuisi Karya Chairil Anwar NisanPuisi berjudul nisan merupakan karya termudanya di tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Umumnya istilah nisan merujuk pada batu yang ditanam di atas kuburan. Namun berbeda dengan apa yang disebutkan dalam laman Nisan dalam puisi Chairil ialah persembahan bagi neneknya. Berikut puisi lengkapnyaBukan kematian benar menusuk kalbuKeridhaanmu menerima segala tibaTak kutahu setinggi itu di atas debuDan duka maha tuan tak bertahtaAkuMengutip Chairil Anwar, Hasil Karya dan Pengabdiannya 2009 karya Sri Sutjianingsih, puisi ini memperlihatkan fenomena hidup individualisme yang dijalankan oleh Chairil Anwar. Berikut lengkapnyaKalau sampai waktuku Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagiKarawang Bekasi Dalam jurnal berjudul Nasionalisme dalam Sajak Chairil Anwar, puisi berjudul Karawang Bekasi merupakan gambaran dari situasi dan kondisi di front Karawang-Bekasi pada masa revolusi fisik 1945-1949. Tepatnya untuk mempertahankan pertahanan dari Nederlands Indies Civil Affair Officier NICA. Berikut lengkapnyaKami yang kini terbaring antara Krawang-BekasiTidak bisa teriak Merdeka’ dan angkat senjata lagiTapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kamiTerbayang kami maju dan mendegap hati?Kami bicara padamu dalam hening di malam sepiJika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi kenanglah sudah coba apa yang kami bisatapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan ati 4-5 ribu nyawaKami cuma tulang-tulang berserakanTapi adalah kepunyaanmuKaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakanAtau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan, atau tidak untuk apa-apaKami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkataKaulah sekarang yang bicara padamu dalam hening di malam sepiJika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetakKenang, kenang lah kamiTeruskan, teruskan jiwa kamiMenjaga Bung KarnoMenjaga Bung HattaMenjaga Bung SjahrirKami sekarang mayatBerikan kami artiBerjagalah terus di garis batas pernyataan dan impianKenang, kenang lah kamiyang tinggal tulang-tulang diliputi debuBeribu kami terbaring antara Krawang-BekasiKepada Peminta-MintaBerdasarkan jurnal karya puisi ini ditulis oleh Chairil pada bulan Juni tahun 1943. Puisi ini menonjolkan sikap kritis Chairil dalam menggambarkan kondisi seseungguhnya kehidupan rakyat miskin atau kaum melarat pada pembaca. Mulai dari sikap ekspresionisme sampai sikap sosialnya dari apa yang terjadi. Berikut puisi lengkapnyaBaik, baik aku akan menghadap DiaMenyerahkan diri dan segala dosaTapi jangan tentang lagi akuNanti darahku jadi lagi kau berceritaIklan Sudah tercacar semua di mukaNanah meleleh dari lukaSambil berjalan kau usap tiap kau melangkahMengeerang tiap kau memandangMenetes dari suasana kau datangSembarang kau dalam mimpikuMenghempas aku di bumi kerasDi bibirku terasa pedasMengaum di baik aku akan menghadap DiaMenyerahkan diri dari segala dosaTapi jangan tentang lagi akuNanti darahku jadi jurnal berjudul Pemahaman Semiotika Sajak Doa Karya Chairil Anwar, mengandung makna mengenai hubungan seorang insan dengan Tuhannya. Sajak ini terbilang bertentangan dengan diri CHairil sebagai "Ahasveros" atau bersikap individualis dan eksistensialis. Berikut puisi lengkapnyaKepada pemeluk teguhTuhankuDalam termanguAku masih menyebut namamuBiar susah sungguhMengingat Kau penuh seluruhCahaya Mu panas suciTinggal kerdip lilin di kelam sunyiTuhankuAku hilang bentuk remukTuhankuAku mengembara di negeri asingTuhankuDi pintu Mu aku bisa mengetukAku tidak bisa berpalingPersetujuan Dengan Bung KarnoSelanjutnya puisi yang dibuat oleh Chairil untuk Soekarno pada masa kemerdekaan. Isinya menjelaskan kobatan untuk melepaskan penjajahan dan membentuk Indonesia yang baru. Berikut lengkapnyaAyo! Bung Karno kasih tangan, mari kita bikin janjiAku sudah cukup lama dengan bicara muDipanggang di atas api muDigarami lautmu dari mulai tanggal 17 Agustus 1945Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimuAku sekarang api, Aku sekarang lautBung Karno! Kau dan aku satu zat satu uratDi zat mu, di zat ku kapal-kapal kita berlayarDi urat mu, di urat ku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuhSenja di Pelabuhan KecilMenurut jurnal berjudul Analisis Struktur Barin Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” Karya Chairil Anwar, menjelaskan bahwa puisi ini menggambarkan kondisi dari kesedihan, ratapan, dan duka. Pesan yang disampaikan ialah kegagalan sebuat cinta bukan akhir dan segalanya dan hal tersebut dapat kita dapatkan kembali dari pelabuhan yang lebih luas. Berikut lengkapnyaIni kali tidak ada yang mencari cintadiantara gudang, rumah tua, pada ceritatiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlautmenghembus diri dalam mempercaya mau berpautGerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elangmenyinggung muram, desir hari lari berenangmenemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerakdan kini tanah dan air tidur hilang lagi. Aku sendiri. Berjalanmenyisir semenanjung, masih pengap harapsekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalandari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekapFATHUR RACHMAN Baca 100 Tahun Chairil Anwar, Sang Penyair Sempat Dituduh Lakukan Plagiat Puisi Karawang BekasiIkuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

makna puisi senja di pelabuhan kecil